Bermimpi Setinggi Angkasa atau Realistis Aja?
Pernah gak dikatain, "kalo buat impian tuh jangan ketinggian, kalo gak tergapai, jatuh nanti sakit." Atau mungkin denger, "kalo bercita-cita itu yang realistis aja." Atau dinasihati, "jangan berekspektasi tinggi, kalo realitanya gak sesuai nanti sakit hati, terus marah sama keadaan."
Ada beberapa orang yang punya prinsip seperti itu, tapi pasti ada yang sebaliknya. Bagi mereka, nanggung kalo gak bermimpi tinggi. Toh juga gratis dan siapa aja bisa membuat impian mereka sendiri.
Well, kita gak bisa sih maksa orang harus berprinsip yang mana. Itu hak masing-masing setiap orang. Tapi aku pengen coba menjabarkan dua prinsip ini dari sudut pandangku, kenapa ada orang yang berprinsip untuk bermimpi setinggi angkasa dan ada juga yang memilih realistis aja?
Pertama, prinsip orang yang realistis. Mereka memilih realistis karena mereka gak nau terbebani dengan mimpi yang susah digapai sebab ketinggian. Mereka juga cukup sadar dengan kondisi mereka sendiri. Ibaratnya, kalo sekarang dia berpijak di tanah, seenggaknya mimpinya bisa digantung di atas genteng, biar bisa diambil pakai tangga. Atau kalo posisinya ada di langit, dia bisa naruh impian mereka di awan, terus digapai dengan naik pesawat.
Hidup realistis itu bisa buat mereka sedikit lebih santai dan gak perlu mati-matin ngejar mimpi yang larinya kenceng banget, sampe gak dapet-dapet. Tapi ya hidup gak akan penuh warna, karena larinya di sekitaran situ aja, mungkin stuck di tempat.
Realistis juga buat mereka gak akan kecewa berat di kemudian hari, kalau ternyata apa yang dikejar ternyata bukan jodohnya. Ya sakit, tapi gak sesakit itu karena harapan yang digantungkan juga gak jauh-jauh dari posisi diri. Kayak jatuh dari sepeda mungkin, beda lagi kalau jatuh dari langit ke tujuh, remuk hancur dong.
Yang kedua, prinsip orang yang bermimpi setinggi angkasa. Rasanya hidup gak berarti kalo gak bermimpi, lagian hidup cuma sekali, nanggung kalo cari aman. Mereka gak peduli dengan rasa sakit yang akan jadi konsekuensinya. Bahkan rasa sakit hati dan kecewa itu bisa saja membunuh jiwa dalam sekali tarikan.
Modalnya cuma keringat, doa, dan pantang menyerah. Kita gak akan tau hasilnya kalau baru sekali langsung menyerah, siapa tahu setelah kegagalan yang kesekian kita akan menemukan keberhasilan yang kita impikan selama ini.
Bermimpi setinggi langit, pasti mimpinya juga worth it. Misalnya, orang yang realistis tidak masalah jadi buruh, tapi orang pemimpi inginnya jadi bos dan pendiri. Pokoknya orang yang berprinsip ini gak suka hal-hal yang nanggung, kalo bisa bermimpi tinggi kenapa harus pilih yang pendek atau realistis? Realistis gak menjamin kepuasan.
Tapi.... sebenarnya ada satu prinsip yang menurutku lebih cerdas. Dan aku tipe ini.
Aku suka bermimpi setinggi angkasa. Padahal posisnya aku sedang ada di tanah, tapi aku menggantungkan cita-cita di angkasa, main gila. Tapi di waktu yang bersamaan, aku juga menggantungkan mimpiku di atas genteng. Prioritas utamaku ada di angkasa, aku mengusahakan untuk berhasil menggapai cita-citaku di sana, tapi kalau pada akhirnya gagal, lalu aku terjatuh, setidaknya ada trampolin yang sudah kupersiapkan sejak dulu sehingga aku tidak langsung jatuh ke tanah lalu sekejap mati. Aku masih bisa memantul bahkan melompat lebih tinggi terus mengulang lagi menggapai dari awal.
Bisa dibilang, aku membuat beberapa rencana dalam hal bermimpi setinggi angkasa dan realistis. Tapi aku juga perlu mempersiapkan mental supaya tahan banting. Hidup cuma sekali, sayang kalo gak bermimpi dan berharap sepuasnya, asal kita enjoy juga menjalaninya.
Tapi, hidup adalah tentang pilihan. Dan tiap orang punya hak untuk memilih jalan hidupnya.
Komentar